Rabu, 04 April 2018

HSR: Tanya Jawab 1 Keluarga Ayeman

[19/3 06:54] Karina Hakman: *Assalamualaikum wr wb*

Apa kabar Shalih Shalihah...? InsyaAllah kami akan mulai mencicil hasil tanya jawab peserta dengan Abah dan Ambu Ayeman ya. Karena panjaaaaang.. insyaAllah dikasi sebagian dulu ya.. 😊🙏

✨✨✨✨✨
*Tanya Jawab Bersama Keluarga Ayeman*
Senin, 19 Maret 2018

*Pendahuluan dari Abah dan Ambu Ayeman*

Jawaban yang akan kami sampaikan berikut ini merupakan pertimbangan kami sebagai orang tua jika kami menghadapi permasalahan yang sama, dan tidak didasari keahlian di bidang-bidang khusus.

Karenanya, jawaban kami bisa jadi sangat personal karena dipengaruhi pengalaman hidup kami. Mohon dimaafkan jika kurang sesuai.


0⃣1⃣ *Tanya*:
Saya masih ragu untuk HS karena suami sendiri belum bisa ikut berperan dan di tempat saya tinggal belum ada komunitas HS, cuma ada 1 keluarga HS.

Suami masih terkendala mental block, merasa tidak punya ilmu agama yg kuat, bacaan Al Qur'an pun jelek dan saat saya sarankan untuk ikut kajian tidak mau dan belajar tahsin merasa malu.

Terus terang saya merasa sendiri.

*Apa yang sebaiknya saya lakukan?*

Karena suami sebenarnya setuju  untuk HS tetapi suami tidak mau mengupgrade diri.
_*Saya takut tidak bisa memelihara konsistensi kalo tidak ada dukungan dari suami dan tanpa komunitas.*_
Terima Kasih

0⃣1⃣ *Jawaban*:
Semoga Allah memberikan kemudahan bagi ibu sekeluarga, aamiin.

Menurut pandangan kami, persetujuan suami untuk HS sudah sesuatu yang patut disyukuri, karena dengan persetujuannya tersebut, suami akan ikut mengambil perannya, walaupun mungkin tidak sesuai ekspektasi ibu.

Kedudukan suami dalam HS, kurang lebih, adalah kepala sekolahnya. Sedangkan ibu dapat lebih banyak mengambil peran mengajar.

Alangkah banyaknya para ibu yang ingin HS tetapi suami tidak menyetujuinya. Kesamaan visi dapat membuat perjalanan HS lebih smooth dibandingkan dualisme.

Mengenai masalah mental block, inysaaAllah, ada beberapa cara yang dapat dicoba;

*Pertama*, minta dulu sama Allah, karena toh kita tidak bisa membulak-balik hari suami. Biar Allah yang bukakan jalan.

*Kedua,* berikan peran yang memang sanggup suami jalankan. Apakah dengan mencukupi kebutuhan-kebutuhan HS, atau bersedia diajak diskusi soal perencanaan HS, atau tanyakan saja peran apa yang bisa suami ambil.

Setahu saya, secara umum suami kurang suka ‘diberi saran’ oleh istri, karena mungkin bagi suami terasa/terdengar bagai menggurui.

Jadi, tawarkan saja apa yang bisa beliau lakukan.

Di keluarga kami, Abah berperan sebagai kepala sekolah (dan tukang bebersihnya, hehe) dan Ambu sebagai guru utama (dan koki).

Seringkali Ambu dapat ide2 HS yang perlu didiskusikan dengan Abah, seperti kegiatan atau barang yang butuh biaya, program baru, rencana belajar, dll.

Suami yang mau meluangkan waktu untuk mendengarkan dan memberikan pendapatnya sudah sangat mendukung HS kami, alhamdulillah.

☘ Kemudian mengenai kurangnya ilmu agama atau bacaan Quran yang masih kurang baik… Ini mah sama saja dengan yang kami alami.

Yang kami lakukan adalah belajar bersama-sama. Ambu ikut kelas tahsin mulai dari dasar banget, baik yang online maupun tatap muka, dan Ayeman ikut hadir.

Sebagai anak, dia diam-diam ikut menyimak pelajaran-pelajaran yang saya terima. Kami seringkali dikoreksi oleh Ayeman.

_*Alhamdulillah, bersama-sama kami bangkit dari keterpurukan buta ilmu.*_ Dan Ayeman bisa melihat bahwa belajar tidak mengenal usia, karena kita tahu, belajar ilmu syari hukumnya wajib.

Mungkin hal ini bisa ditumbuhkan di keluarga ibu juga, bahwa suami tidak perlu menguasai ilmu syari atau jago baca Quran dulu sebelum mengajari.

Ajari yang suami anda sudah kuasai. Jika semua ilmu sudah habis dibagikan, maka bersama-sama cari guru yang lebih mumpuni. Saya yakin pasti ada yang bisa suami ibu ajarkan pada anak.

Intinya, lakukan apa yang bisa dilakukan dulu, all out. Setelah itu cari resource lain.

☘ Komunitas, menurut hemat saya, tidak harus berbentuk kumpulan orang yang bertemu kopi darat. Bagi saya, kumpulan ibu2 di group whatsapp, dimana kita bisa saling berbagi cerita dan dukungan pun sudah cukup. Didalamnya kita bisa mengambil manfaat dari pengalaman orang lain, bisa juga dapat masukan atas masalah2 yang terjadi pada HS kita.


0⃣2⃣ *Pertanyaan 2*

Assalamualaikum Mbak saya mau tanya terkait materi HSR.

Apakah Ayeman pernah meminta untuk sekolah formal?

Bagaimana jika kita ingin mengHSkan anak tapi ternyata si anak minta sekolah formal?

0⃣2⃣ *Jawaban*.
Wa’alaykumussalaam warahmatullahi wabarakatuh.

Semoga Allah mencurahkan rahmatNya bagi keluarga ibu dan kami semua, aamiin.

Ayeman tidak pernah minta untuk masuk sekolah formal, karena ia menikmati HS.

Sebelum HS, Ayeman pernah masuk Kindergarten selama 1 tahun dan Primary School di Australia selama 3 bulan, lalu kami sekeluarga pindah ke Indonesia dan memulai HS. Jadi, kurang lebih, Ayeman dapat membandingkan cara belajar di sekolah umum dan di rumah.

_*Kami merencanakan pesantren saat Ayeman berusia SMP nanti*_, karena kami pikir, mudah2an di usia tersebut, agamanya sudah tertanam kuat, attitude sudah tebentuk, dan Ayeman sudah sanggup hidup mandiri. Tambahan lagi, mungkin ilmu yang kami miliki sudah habis dibagikan.

Tapi, hingga kini Ayeman masih melobby untuk terus lanjut HS hingga siap kuliah. Kami belum memutuskan, apakah terus HS dan ikut ma’had untuk ilmu2 Islam atau bagaimana nantinya…

Jika anak minta sekolah formal: Kembali ke visi misi keluarga. Terangkan padanya perbandingan antara HS dan sekolah formal, berikut manfaat yang bisa didapatkan dan hal-hal negatif yang mungkin muncul dari keduanya. Jika orangtua menginginkan HS, tentu hal ini didasari alasan-alasan yang kuat. Nah, sampaikan juga alasan-alasan ini kepada anak.

*Anak, terutama jka sudah masuk usia tamyiz (7 tahun) sudah bisa membedakan dan memahami.*_ Mungkin jika anak sangat ingin, bisa juga dicoba _sit in_ di sekolah, sehingga ia bisa membandingkannya dengan HS.

Bagaimanapun, ini menjadi keputusan keluarga anda, dan keputusan berada di tangan anda orangtuanya. Tentu awali dengan berdoa agar Allah berikan jalan yang terbaik bagi keluarga ibu.

Ohya, sebagai tambahan, perlu dipahami bahwa HS itu bukan suatu keharusan.

Jika memang ada sekolah formal yang sesuai dengan bisi misi keluarga ibu, bisa jadi itu merupakan pilihan yang lebih baik. Untuk keluarga kami, kami memilih HS karena itulah pilihan yang tepat untuk saat ini.

*Setiap keluarga punya prioritas dan kebutuhan masing2, jadi tentu pilihannya berbeda2 pula.*


0⃣3⃣ *Pertanyaan 3*

Assalamualaikum. Bunda kami dari hs zanisadad mohon motivasinya..

Kami baru jalan 3 bulan, sedikit ada ketakutan klu2 pilihan kami unt meng hs kan anak2 tidak berhasil.

Anak 1 laki2 kls 3 sdit, anak ke 2 tkit, yg kami tarik dr sekolahnya, anak 3&4 masih batita.
Anak2 sepertinya sangat enjoy..  tapi lingkungan kurang mendukung, orang2 menganggap aneh dg keputusan kami..

Gmn y? Syukron u jawabannya..

0⃣3⃣ *Jawaban*
Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

_*Barakallahu fiikum, sudah berani memulai.*_ Alhamdulillah anak-anak ibu menikmati proses belajarnya dengan HS.  Semoga Allah mudahkan urusan2 ibu sekeluarga.

Masalah keberhasilan, sangat tergantung dari sisi mana kita menilai sebuah keberhasilan, dan tentu ini dikembalikan kepada visi dan misi keluarga kita.

Apakah keberhasilan dinilai dengan angka2 cemerlang di rapot?

Apakah sering memenangkan lomba?

_*Ataukah keteguhan memegang prinisp agama? Ataukah sikap yang santun?*_

*Di keluarga kami, aqidah yang kokoh menjadi tujuan agama.*

Kami menganggap pendidikan HS kami di arah yang *benar*, ketika *Ayeman paham betul akan Rabbya, Rasulnya dan agamanya, serta konsekuensi yang harus dijalaninya.*

Berhasil, jika dalam dirinya tertanam *keinginan untuk terus belajar ilmu2 yang menuntunnya ke surga*.

Memang, ada kalanya Ayeman perlu waktu lebih lama untuk mencerna operasi matematika, misalnya. Tetapi kami tidak merisaukan hal ini. Dengan belajar bertahap, berulang, latihan, insyaaAllah ini akan dikuasai. Toh kami tidak dikejar target waktu untuk menyelesaikan kurikulum.

Tetapi, begitu dia paham sesuatu, dia bisa belajar dengan sangat cepat.

Percayalah, _*jika kita mengutamakan ridha Allah, maka, masyaaAllah, Allah mudahkan semua urusan lain, Allah bukakan pintu-pintu bagi urusan2 kita.*_

Tentu kita tidak ingin mengganti ini dengan apapun.

_*Fokuslah menata akhirat kita dan menggapai ridha Allah, dan biarlah Allah yang mengurus dunia kita.*_


☘ Tentang anggapan aneh dari orang-orang sekitar, dalam pengalaman kami, tidaklah berlangsung lama.

Jelaskan seperlunya jika mereka memang bertanya, lalu fokuslah pada HS anda.

_*Sungguh kita tidak ingin kehabisan waktu dan energi memikirkan reaksi orang-orang.*_

*Jika HS memang bisa menjadi jalan untuk menggapai ridha Allah (dengan harapan anak bisa lebih shaleh), lalu mengapa khawatir pandangan orang lain?*

Luruskan niat, minta petunjuk Allah, jalani. Begitu terus. InsyaaAllah.


0⃣4⃣ *Pertanyaan 4*.

Backgroundnya: berdasarkan pengamatan suami, ketika beliau mendapat kesempatan memperdalam ilmu agama dengan ikut ke tempat kawan2 beliau yang sedari kecil belajar islam namun kurang terpapar dengan ilmu lain, seperti science, social, (yg biasanya dipelajari ketika kita di sekolah formal), _*Kawan2nya itu menjadi minder jika harus menjadi pemimpin dalam suatu pergerakan*_.

Minder untuk berkawan dengan yang tidak belajar islam sedalam mereka.

Ketika diajak berdiskusi dari sudut pandang lain (seperti bagaimana orang barat berpikir tentang islam), mereka tidak berani menyanggah.

Kurang berinisiatif juga dalam diskusi. Padahal sebenernya kawan2 suami ini pintar2 sekali, tapi mereka hanya mau berkiprah di dalam lingkaran mereka, tidak berani memperjuangkan islam ke luar dan mengenalkan ke orang2 yg belum tau.

Karena mereka merasa kurang paham dengan sudut pandang lain di luar yg mereka pelajari selama ini.

Yang ingin saya tanyakan, *bagaimana caranya menyiapkan mental anak agar tetap percaya diri bahwa dirinya bisa menjadi pemimpin yang baik dalam memperjuangkan Islam, baik di dalam maupun di luar lingkaran yang dia ikuti?*

0⃣4⃣ *Jawaban*
Yang kami lakukan bersama Ayeman adalah mengenalkan ilmu syari sebagai ilmu utama, juga mengenalkan ilmu lainnya sebagai ilmu pendamping.

Mengenalkannya pada berbagai masyarakat heterogen dengan berbagai latar belakang. Banyak-banyak berdiskusi tentang berbagai tema, dan selalu berusaha untuk menghubungkannya dengan Quran Sunnah.
Memberikannya berbagai bacaan, selama masih dalam koridor syar’i.

Jika ibu sudah memiliki komunitas yang bisa bertemu tatap muka langsung, bersama-sama ibu bisa mengadakan pertemuan berkala dimana abak bisa bergantian bercerita ata bicara mengenai topic tertentu.


Proses bicara di depan publik ini lama-lama seiring bertambahnya kedewasaan mereka, dapat diarahkan pada public speaking atau bahkan presentasi formal.

Dengan keterpaparan Ayeman pada banyak jenis komunitas pelan-pelan menumbuhkan kepercayaan dirinya.

Pernah Ayeman berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya pada kakak mahasiswa di sebuah forum berisi orang dewasa seluruhnya (mahasiswa dan praktisi). Tadinya maju mundur. Tapi akhirnya memberanikan diri.

Akhirnya dia menyadari bahwa ternyata berbicara dengan kakak2 mahasiswa itu biasa aja. Pernah juga Ayeman panjang lebar membicarakan sejarah Austria sama bule Jerman.

Jadi mungkin intinya bekali ilmunya, sering diskusikan dirumah, dan berikan peluangnya untuk berdiskusi.

Seringkali kita orang dewasa tidak menginginkan pendapat anak kecil dalam diskusi dewasa kan ya?

Coba libatkan jika diskusinya bukan sesuatu yang khusus dewasa.

Kita bisa bicarakan soal lingkungan, kebudayaan, sains dan lain2. Mudah2an membantu.
[19/3 06:54] Karina Hakman: 0⃣5⃣ *Pertanyaan 5*
Maaf mau tanya. Anak sy usia 6th dan 4th. Rasanya sulit untuk memberlakukan jadwal krn anak anak masih semaunya sendiri.

Nah bagaimana solusinya?

0⃣5⃣ *Jawaban*
Sepengalaman kami bersama Ayeman, ketika Ayeman berusia di bawah 7 tahun, ia memang tidak bisa mengikuti jadwal yang detil.

Berbeda dengan usia 7 tahun ke atas, ia kelihatan lebih matang dan lebih siap dengan jadwal.

Di bawah usia itu, Ayeman mengikuti kegiatan2 rumahan yang kurang lebih berpusat pada waktu shalat.

Waktu subuh artinya bangun, shalat, bebersih diri, sarapan, dll.

Dzhuhur berarti shalat, makan siang, qoilulah. Dan seterusnya sampai Isya, artinya shalat, gogok gigi, tidur.

Diantara waktu shalat diisi variasi kegiatan belajar, bantu2 urusan rumah, bermain yang tidak terjadwal dengan detil, tetapi kami mengusahakan belajar di waktu pagi hari sebelum Ayeman terlalu lelah dan kehilangan fokus.

Belajarnya pun tidak duduk manis seperti di sekolah, tapi dimana saja, selama kegiatannya memiliki efek belajar.

Misalnya, saat Ambu sedang sibuk urusan dapur, Ayeman bertugas mengelap kumpulan sendok, garpu, pisau roti dan sendok kecil.

Lalu, dia mengelompokkannya dalam kumpulannya masing2. Sendok bersama sendok, garpu bersama garpu lainnya… dst.

Kemudian dia menghitung jumlah di masing2 kelompok dan menuliskannya dalam sebuah tabel. Lalu menghitung keseluruhannya.

Sepanjang kegiatan itu kami juga membahasnya: mana yang paling banyak, paling sedikit, yang bentuknya paling disukai, bagaimana merawat alat dapur, dll.

Walhasil, dari kegiatan ini, Ayeman sudah mengalami beberapa hal terkait;
• life skills (membersihkan, mengatur alat makan dan cara merawatnya), • numeracy (berhitung, dan sedikit statistik),
• literacy (berdiskusi, mendengarkan dengan baik, menyampaikan pendapat, kosa kata seputar urusan dapur dan matematika).

Atau, dulu ketika masih dimandikan, kami membahas dan melihat langsung bagaimana air selalu bergerak ke tempat yang lebih rendah.

Intinya, hal2 sederhana sehari2 saja sesuai ritme kegiatan rumah tangga yang sedang belangsung.

Tambahannya, kalau memang sedang bisa duduk tenang, membaca buku2 dan mengerjakan worksheet seperti latihan membaca (iqra dan latin), membaca buku2, menulis dan berhitung.


0⃣6⃣ *Pertanyaan 6*:

Assalamualaikum ambu, sejak usia berapa ayeman mulai bisa bangun sebelum shubuh? dan bagaimana cara mengajarkannya?

0⃣6⃣ *Jawaban.*
Waalaykumussalaam warahmatullahi wabarakatuh.

Sejak kecil… Di usia batita, setiap kali Ayeman ikut terbangun subuh, maka ia akan diajak ikut shalat subuh di masjid.

Sejak usia tiga tahun, sudah mulai dibicarakan tentang wajibnya pria muslim yang sudah baligh untuk shalat berjamaah di masjid, dan bahwa Ayeman insyaaAllah akan tumbuh besar dan terkena kewajiban ini, dan bahwa akan sulit berjamaah ke masjid jika tidak terbiasa sejak kecil.

Dan bahwa orang2 munafik merasa sangat berat untuk ikut shalat berjamaah, khususnya di waktu Shubuh dan Isya. Ayeman paham ini dan minta dibangunkan.

Hanya saja, di usia itu, kami melihat situasi dan kondisi. Ada kalanya, jika di hari sebelumnya ia sangat kelelahan, esoknya tidak langsung dibangunkan.

Biasanya rencana bangun esok hari sudah dibicarakan malamya.

Besok mau dibangunin jam berapa?

Mau tahajjud?
Mau sahur?
Mau shalat subuh di masjid?

Esok harinya dibangunkan sesuai kesepakatan.

Di usia 3-5 tahun saat masih tinggal di Melbourne, Ayeman sering bersikukuh untuk ikut shalat subuh di masjid (namanya Masjid Maidstone), walaupun dibonceng Abah bersepeda menembus udara dingin winter yang menusuk tulang.

Setiap menjelang subuh rumah kami diliputi persiapan heboh untuk perjalanan ke masjid yang jauhnya sekitar 3 km dari rumah: baju tebal berlapis2, hot water bottle, selimut, bantal.

Tapi kalau sudah sepakat di malam harinya, Ayeman akan bersikukuh esok harinya.

Walaupun dalam keadaan tidur: berangkat dalam keadaan tidur, di masjid ditidurkan di karpet sementara abah ikut shalat berjamaah, pulang pun masih dalam keadaan tidur.

Kemunculan Ayeman tiap subuh membuat banyak warga masjid yang mendoakan Ayeman.

Pernah, Ayeman ikut shalat subuh di masjid dan ikut shalat di barisan pertama tepat di belakang imam.

Lalu Imamnya terlupa akan bacaannya dalam shalat, saat itu sedang membaca surat Abasa.

Lalu Ayeman dengan suara imut khas anak balita mengingatkan imam akan ayat2 yang terlupa.

Sepertinya kejadian itu membuat hati para jamaah meleleh.  Setelah shalatnya selesai, syeikhnya (orang Libanon) secara khusus mendatangi Ayeman untuk menciumi kepalanya, berbicara dan mendoakannya.

Jamaah lain pun begitu. Saat semua itu berlangsung, Abah diam saja sembari menangis di samping Ayeman.

0⃣8⃣ *Pertanyaan 8*.

"Kami sudah pernah punya pengalaman buruk dimana hafalannya hilang dalam sekejap, dan kami berusaha tidak mengulangi kesalahan yang sama."

Bisa di-share pengalaman yg ini, Mbak?

0⃣8⃣ *Jawaban*.

Setelah Abah selesai sekolah tahun 2011 akhir, kami pulang ke Indonesia, dan ceritanya berusaha hijrah, ingin menjadi muslim yang lebih baik, yang lebih serius belajar ilmu syari dan mempraktekannya.

Sudah cukup kami melakukan kegiatan2 yang, kalau tidak di ranah maksiat, masuk ranah buang2 waktu. Karenanya, mengumpulkan kekuatan hati, kami buang semua kaset dan cd berisi film2 dan musik2.

Betapa kami dulu menggandrungi musisi ini dan aktor itu. Kami buang juga semua buku2 yang didalamnya mengandung maksiat bahkan kesyirikan. Kami hancurkan dan bakar.

Setelah periode itu berlalu dan terlupakan, suatu saat Ayeman jatuh sakit dan perlu bed rest. Dengan Anak yang energinya sangat besar dan aktif melompat kesana kemari, kami mencoba mencari cara yang bisa membuatnya diam di tempat tidur.

Lalu terbersit untuk memutarkan sesuatu, audio atau video. Tapi, apa yang bisa diputar, wong koleksi kami tinggal cd2 berisi ceramah, sisanya cd berisi file kerjaan.

Lalu kami biarkan Ayeman memilih sendiri. Dia mengambil 1 CD, yang ternyata berisi pelajaran tahsin dan beberapa bacaan surat pendek. Dia sangat menikmati ini.

Kami sudah sempat cerita kan, bahwa Ayeman tidak nonton screen sama sekali sebelumnya.

(Dalam periode ini Ambu sebetulnya seharusnya tinggal di Australia karena sedang studi, tapi kita putuskan tidak berpisah jadi Ambu terpaksa cuti sekolah sampai saya boleh menemani Ambu ke Australia lagi akhir tahun 2013).

Jadi pas kita kemudian terpapar quran di rumah, diawali dgn CD pilihan Ayeman, setelah itu, kita takjub dengan perbuatan Allah pada Ayeman. Dalam waktu yang singkat Ayeman hafal hampir setengah juz amma, terus mulai surat yg agak panjang annaba sd alinfithar, terus surat di luar juz amma, alqiyamah.

Dan karena sy (abah) ngantor, tinggal bagian enaknya aja. Pulang kantor, dengerin ayeman setor surat baru. We really took it for granted.

Terus tibalah waktu yg kita tahu bakal harus kita lalui..

Yaitu ambu harus nerusin sekolah stlh cuti 1 tahun dan ambil data di Indo 1 tahun (total 2 tahun setelah kepulangan kita dari Australia).

Jadi kita bertiga ke Australi lagi November 2013, ayeman 3,5 tahun.

Dan dimulailah tantangan baru, perubahan besar . Di Australia, Ambu harus ke kampus tiap hari pagi ampe sore, jadinya abah nu sama ayeman di rumah pagi sampe sore. Ini berat pisan buat kami.

Terutama buat saya. Soalnya ga punya clue sama sekali gimana ngurus anak kecil 3.5th, di negeri _batur deuih_ (baca: negeri orang).

Jadi yg sering sy lakukan saat _eta_ (baca: itu), supaya ayeman anteng, saya bawa ke taman, ke perpustakaan, dan main terus di luar rumah. Terus awal tahun 2014, ayeman mulai bisa masuk kindie di sana, jadi ada kegiatan tambahan 15jam seminggu. Kami juga membiarkan musik/nyanyi2an masuk ke rumah kami.

Kami seneng ayeman udah mulai kerasan di sana. Terus ga tau gimana, sy terbersit untuk ngecek hafalan ayeman sbelumnya, yang sudah lebih dari setengah juz, plus bbrp surat panjang, dan ternyata … hilang semua..

Iya hilang semua. Saya coba minta Ayeman nerusin surat qiyamah, hampir gada yang bisa, coba 3 qul juga ga lengkap, jauh lebih banyak sekali yang ga ingetnya..

Pas Ambu pulang dari kampus, diobrolin we ka ambu. Dan dicoba lagi memang pada lupa. Saya tahu ambu sedih. Terbayang ketika Ayeman dipegang ambu di Bdg, hafalannya pesat, ketika oleh abahnya bbrp bulan langsung ilang.

Kalau ambu sedih, abahnya jauh lebih sedih. Saat itu di depan ambu dan ayeman, Abahnya ayeman cuman bisa diem sambil main2 dan nyiapin makan malem, walopun sbtlnya itu sedang sangat hancur hatinya. Sedih, asa dosa ka ambu… (baca: merasa dosa ke ambu)

Pas waktu magrib, sambil nyapedah ka masjid, cirambay sejadi jadinya si Abah teh, ngadu sama Allah.

Ternyata baru sadar kenikmatan anak seneng quran teh sedemikian gede, dan pas ilang baru terasa sakitnya..

Dari sini kita baru sadar kalau ternyata bacaan Quran itu bisa lupa. Terus terang sampai tahap ini kita baru menyadari dan menikmati enaknya punya anak yang hafal Quran, tapi kita tidak tahu bahwa itu bisa hilang dengan mudah dan sekejap.

Mengapa baru tahu, karena kita saat itu juga belum menghafal. Kita tidak tahu betapa beratnya menjaga hafalan Quran, betapa mudahnya bisa hilang. Baru sadar betapa benarnya yang dikatakan Rasulullaah bahwa hafalan quran itu lebih mudah hilang daripada unta yang tidak diikat.

Alhamdulillah kita mah merasa perlu terus bersyukur diberikan juga kesempatan merasakan Ayeman hilang bacaan Quran di waktu kecil, dan itu membekas sekali buat kami, terutama buat saya. Saya sangat tidak ingin mengalami hal serupa. Ini yang terus kita mintakan sama Allah. Dan alhamdulillah, sejauh ini Allah berikan jalan-jalan yang tidak kita bayangkan.


1⃣0⃣ *Pertanyaan 10*

Jadi gini ka.. bagaimana cara kita menjelaskan perihal keberadaan Allah kepada anak usia 4-5tahun..
Mereka bertanya Allah itu masih muda atau udah tua bunda..
Saya mau menjelaskan nya, tapi masih keliru. Takut ada kalimat yang salah di cerna oleh mereka..

1⃣0⃣ *Jawaban*

Bagi kami, aqidah itu sangat sangat penting. Bukan hanya buat anak kita, yang lebih utama harus kita dulu yang punya aqidah yang kuat kokoh.

Yang kami fahami, Islam agama yang sangat ilmiah dan sudah jelas dan sempurna ajarannnya.

Saya ingat sebuah kisah di zaman Umar, kalau tidak salah, saat itu datang orang Yahudi kepada Umar dan menyampaikan kepada Umar betapa iri nya mereka kepada ayat-ayat Quran yang diturunkan kepada umat Islam. Dia mengatakan ada satu ayat yang jika saja ayat ini turun kepada bangsa Yahudi, niscaya hari diturunkannya ayat tersebut akan dijadikan sebagai sebuah hari raya. Saking besar dan dalam makna ayat tersebut.

Umar bertanya, ayat yang mana, orang Yahudi tersebut menyebutkan Surat Al-Maidah ayat 3: Alyauma akmaltu lakum... dst.

Ayat ini menegaskan bahwa ajaran Islam sudah sempurna, tidak perlu tambahan-tambahan. Tinggal sekarang kita mencari tahu bagaimana Islam mengajarkan berbagai hal pada kita.

Termasuk masalah keberadaan Allah. Apa yang perlu kita jelaskan pada anak kita, tentunya apa yang Allah dan Rasulnya ajarkan kepada kita melalui para sahabat.

Banyak sekali keutamaan para sahabat yang rasanya sangat perlu kita semua mengetahui, baik dari Quran dan Hadits shahih. Saya tidak punya kapasitas menjelaskan, mangga dirujuk pendapat dan penjelasan-penjelasan ulama tentang keutamaan para sahabat ini. Hanya yang ingin saya share adalah bahwa generasi sahabat ini generasi terbaik, kesepakatan para sahabat adalah dalil yang sangat kuat apabila kita ingin memahami Islam yang diturunkan dulu melalui Rasulullah, termasuk dan terkhusus masalah akidah.

Apa yang tidak dipahami para sahabat dulu, rasanya tidak layak untuk menjadi pemahaman kita sekarang, kalau kita ingin mencari pemahaman yang dulu diwariskan oleh Rasulullah melalui generasi sahabat.

Saya ingat penjelasan ulama terkait satu ayat yaitu di Surat A-HIjr ayat 9: Inna nahnu nazzalna...dst. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah berkata: "Kamilah yang menurunkan AlQuran dan Kamilah yang menjaga-nya".

Penjelasan ulama katanya ketika Allah sebutkan menjaga AlQuran, bukan hanya dijaga fisiknya dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan. Tapi juga pemahaman yang benar seperti dipahami sahabat, juga Allah jaga sampai hari ini sampai detik ini.


Bagaimana Allah menjaga pemahaman Quran yang benar, melalui berita berantai (sanad).

Alhamdulillah kami dikaruniai kesempatan untuk belajar lumayan jauh, di luar negeri.

Ketika saya sekolah dulu, saya melihat betapa orang-orang Barat sangat concern dengan yang namanya referensi. Ilmu dan metode tentang referensi ini berkembang sangat pesat, dari mulai metodologi nya sampai juga urusan-urusan teknis.

Mungkin sebagian besar dari kita familiar dengan penggunaan referensi dalam tulisan ilmiah kita, setiap kalimat yang ide-nya bukan berasal dari kita harus kita tuliskan sumber nya. Kemudian di akhir tulisan, kita sebutkan daftar referensi (pustaka) kita.

Tahun 2008, ketika saya mulai sekolah lagi bagaimana orang memandang referensi semakin kuat, bahkan kemudian berkembang software untuk membantu menuliskan referensi seperti EndNote, Mendeley, dan lainnya.

Yang sangat saya tangkap ketika sekolah adalah, tulisan-tulisan yang kita buat sebagai tulisan ilmiah akan punya bobot yang lebih besar ketika kita sampaikan bahwa pendapat kita ini didukung oleh Prof A, Prof B dan seterusnya. Juga kita jelaskan darimana ide dan informasi kita didapatkan.


Kemudian muncul pula tentang plagiarisme, yang makin menguatkan bagaimana orang memandang sangat penting adanya referensi, atau berita berantai tadi.

Kemudian, ketika saya menemani istri kuliah tahun 2013, saya berkesempatan belajar islam dari Islamic Online University. Salah satu course nya tentang Ulumul Hadits, seluk beluk bagaimana metodologi hadits. Pengajarnya Sh. BIlal Phillips. Luar biasa, ternyata keilmuan berita berantai ini dalam sejarah Islam sudah ada sejak zaman sahabat, dan thabiin.

Dengan mulai datangnya informasi-informasi yang meragukan, seseorang yang menyampaikan hadits tentang berbagai hal kemudian ditanya darimana dia mendapatkan informasi tersebut. Dan ini terus berkembang ratusan tahun, sampai sekarang kita bisa dengan mudah mengakses informasi yang sudah disaring oleh sahabat, thabiin, dan generasi-generasi setelahnya.

Punten agak panjang intro-nya. Nah, ketika Ayeman sampai pada bahasan-bahasan tentang keberadaan Allah, misalnya, dan juga bahasan bahasan lain yang ghaib, yang kami selalu tekankan pada setiap orang di rumah adalah apa yang kita sampaikan harus punya dasar yang shahih. Termasuk pemahamannya.

Saya lupa apakah Ayeman pernah bertanya tentang keberadaan Allah, tapi yang saya ingat bahwa topik ini sering kita bahas. Sebelum kami sampaikan, kita cari tahu dulu pendapat-pendapat yang ada, kita lihat penjelasannya. Apakah penjelasannya merupakan penjelasan yang difahami oleh generasi sahabat dulu sebagai generasi terbaik atau tidak. Yang kami dapatkan terdapat banyak hadits dan penjelasan yang difahami para sahabat, satu diantaranya ketika ada seorang budak yang hendak dibebaskan tapi dites dulu oleh Rasul.

Ada dua pertanyaan yang diajukan Rasul kepada budak ini, dimana Allah dan siapa saya. Jawaban budak ini, Allah di atas sambil menunjuk ke langit dan engkau adalah Rasulullah, kemudian budak ini dibebaskan atas rekomendasi Rasululllah yang menunjukkan benarnya jawaban yang diberikan.

Untuk cara penyampaiannya, seperti dijelaskan punten bahwa kami (khususnya saya) tidak punya keilmuan khusus dalam parenting. Yang coba kami lakukan terhadap Ayeman untuk memberikan informasi terkait keberadaan Allah ketika umurnya 4-5 tahun (seingat saya pada umur ini memang dulu sudah dibahas masalah ini), kami pastikan bahwa kami sendiri punya pemahaman yang benar (seperti tadi sudah saya jelaskan).

Kemudian kami ajak ngobrol dan kami sebutkan bahwa Allah itu di atas arsy, kami jelaskan mengapa kami menjawab ini.

Kami jelaskan bahwa untuk masalah2 yang ghaib kita perlu punya dasar Quran, Sunnah dengan pemahaman yang benar. Kami tunjukkan haditsnya, kami tunjukkan bahwa haditsnya shahih.

Mungkin yang juga menguatkan jawaban kami terhadap Ayeman, alhamdulillah Ayeman juga senang baca dan kita suplai buku2 yang memang kita pandang aman dari sisi aqidah. Alhamdulillah Ayeman sudah bisa baca dari umur sekitar 3 tahun, jadi dia sering menemukan informasi dan bisa mem-verifikasi apa yang kami sampaikan. Dan sering juga kita dikoreksi karena informasi yang kita berikan salah. Terakhir juga, terkait informasi yang kita berikan, alhamdulillah, Ayeman diberikan kesenangan mendengarkan kajian-kajian islam ilimiah. Jadi lebih sering informasi-informasi tentang akidah dia dapatkan saat kajian, langsung dari ust nya. Dan kita merasa lebih 'reugreug' (baca: lebih mantap) kalau yang menjelaskan ust dibandingkan hanya mendapatkan informasi dari kita yang tidak punya dasar keilmuan agama.

✨✨✨✨✨

*Delapan dulu ya... 😊🙏* Semoga bermanfaat dan berkah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar